PAKKAT NAULI

Selasa, 23 Oktober 2007

MOTIF MOTIF NON REFORMIS

MOTIF-MOTIF NON-REFORMIS
KOMPAS Rabu, 26-05-1999. Halaman: 14
Tanggal dimuat: 26 Mei 1999

MELIHAT "gemuruh" massa dalam karnaval dan pawai di jalan-jalan Jakarta seminggu terakhir ini, saya tiba-tiba disergap oleh pertanyaan yang agak (maaf) berbau sinis: dari mana datangnya energi dan kekuatan yang mendorong rakyat turun ke jalan-jalan tiap hari itu? Apakah yang menggerakkan mereka itu semacam "roh" sejarah yang suci yang menuntun semua umat manusia menuju "tujuan akhir" (telos) yang membebaskan? Ataukah sebenarnya yang menggerakkan itu adalah uang dan sogokan-atau money politics dalam istilah populer sekarang?
Mengapakah massa Jakarta mau ikut konvoi dan kampanye yang sekilas tidak menghasilkan manfaat langsung secara finansial? Apakah yang sebenarnya dicari oleh mereka? Adakah mereka ikut konvoi itu hanya karena ingin menikmati suasana bebas tanpa terikat dengan peraturan lalu lintas yang memang menjengkelkan warga Jakarta itu?
Atau mungkin saya khilaf ketika mengatakan bahwa tidak ada apa yang disebut "manfaat finansial" dalam kampanye. Bukankah sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejumlah partai membagi-bagikan duit untuk menarik massa sebanyak-banyaknya, agar partainya terlihat mempunyai pendukung yang luas. Bagi masyarakat, kian banyak kampanye yang mereka ikuti, kian banyak untung yang ditangguk. Bukankah dengan nalar begitu, sebetulnya masyarakat sudah dengan cerdik memperlakukan musim kampanye sebagai kelanjutan dari program Jaring Pengaman Sosial (JPS)?
Jika betul itu motifnya, berarti yang menggerakkan massa ikut kampanye adalah soal yang sangat sepele tetapi juga tidak sepele: yaitu uang. Tetapi apakah betul itu saja? Apakah tidak ada sesuatu yang sifatnya lebih "luhur", misalnya ideologi, agama atau identitas tertentu? Baiklah, pertanyaan itu kita gantungkan saja tanpa jawaban untuk sementara.
Pertanyaan berikutnya adalah: apa sebetulnya energi dan kekuatan yang mendorong orang-orang untuk mendirikan partai yang begitu banyak sekarang ini?
Di awal era reformasi, saya pernah berusaha "lugu" dan berbaik sangka kepada semua orang yang mendirikan partai-partai baru. Bahwa, ini adalah masa buat semua orang untuk mengekspresikan pendapatnya; bahwa tak ada larangan buat siapa saja untuk mendirikan perkumpulan atau partai atas dasar keyakinannya sendiri. Ketika itu, saya mempunyai keyakinan yang "lugu" bahwa semua partai yang lahir setelah era reformasi adalah cerminan dari kehendak publik untuk merealisasikan cita-cita sosial-politik yang selama 32 tahun Orde Baru terhambat.
Namun, setelah menyaksikan minggu pertama kampanye, dan mendengarkan serta melihat langsung bagaimana tokoh-tokoh partai itu menjelaskan agenda-agenda politiknya, saya mulai mencurigai "keluguan" saya. Bahwa, ternyata banyak "sampah" dalam kampanye partai-partai itu; bahwa tidak seluruh-untuk tidak mengatakan sebagian besar-partai-partai itu merupakan penubuhan (embodiment) dari "roh" reformasi yang diperjuangkan dengan korban empat mahasiswa pada tanggal 12 Mei tahun lalu.
Saya diam-diam mulai dituntun oleh kecurigaan bahwa bersamaan dengan "energi reformasi", ternyata ada "energi anti-reformasi" yang juga ikut mendorong lahirnya partai-partai itu. Ini bisa dilihat dari tokoh yang ditampilkan, retorika yang digunakan dan isi agenda politik yang dikemukakan.
Kesan pertama yang saya tangkap dari kampanye di media elektronik selama seminggu pertama ini adalah tampilnya tokoh-tokoh tua yang sama sekali tidak menampilkan suatu kualitas seorang politisi dengan visi yang baik. Tokoh-tokoh tua itu, secara umum. Bisa dikatakan sebagai "stok lama" yang sudah kedaluwarsa. Memang, umur bukanlah patokan yang bisa memilah dengan adil apakah seseorang termasuk "reformis" atau tidak .
Akan tetapi dominannya tokoh-tokoh tua itu sekurang-kurangnya mengindikasikan sesuatu yang kurang beres dalam masyarakat kita: ke mana stok muda dari generasi yang kemudian? Yang amat saya sukai adalah tampilnya jurkam muda dari PRD (Partai Rakyat Demokratik), Nuraini: dengan penampilan seorang aktivis yang jauh dari kesan klimis dan necis, ia mengemukakan agenda politiknya dengan jelas dan tangkas.
Melihat banyaknya orang-orang tua yang tampil dalam partai-partai baru ini, saya jadi curiga: jangan-jangan energi yang menghidupi dan mendorong partai-partai baru ini adalah soal "balas dendam" dan "sakit hati".
Maksud saya: banyak orang tua yang dahulu kalah gambling dan tersingkir dari arena politik pada zaman Orde Baru. Didorong oleh "sakit hati" dan ingin "balas dendam", mereka mencoba masuk ke arena politik kembali: siapa tahu, kali ini mereka bisa memenangkan "nomor buntut". Karena motifnya yang sangat "psikologis" itulah, saya jadi paham kenapa sebagian besar orang tua itu gagap menerangkan "cita-cita politik" mereka, karena memang sesungguhnya tidak ada visi politik yang ada di kepala. Dalam kesempatan ini saya hendak mengambil contoh Partai IPKI yang dalam kesempatan kampanye di TVRI beberapa waktu lalu menampilkan R Suprapto, mantan Gubernur DKI dulu. Penampilan dan gaya bicara Pak Prapto 100 persen sama dengan birokrat Orde Baru.
Sisi lain yang menonjol adalah aspek retorika. Dalam hal ini, saya mau mengambil isu "kepribadian nasional" sebagai contoh. Isu ini kerap muncul dalam kampanye di TVRI. Tampilnya isu ini, baik atas nama nasionalisme atau sukarnoisme, menunjukkan bahwa cara pikir yang "non-reformis" masih mengakar pada tokoh-tokoh tua. Saya menganggap bahwa isu "kepribadian nasional" termasuk isu yang berbahaya untuk agenda demokratisasi. Sebab, atas nama isu itulah Orde Baru dahulu-juga Orde Lama, pernah-mencibirkan demokrasi sebagai agenda politik karena dianggap sebagai produk Barat. Mengkampanyekan agenda demokratisasi sambil pada saat yang sama menekankan "kepribadian bangsa" adalah contradictio in terminis.
Jadi kesimpulan saya: baik di jalan-jalan raya ketika ada konvoi, atau di podium tempat para jurkam menyampaikan kampanye, ada dua motif yang saling bertanding: "motif reformis" dan "motif non-reformis". Saya khawatir, motif yang dominan di balik gemuruh kampanye sekarang ini adalah motif non-reformis.*

Ulil Abshar-Abdalla Cendekiawan

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda