PAKKAT NAULI

Selasa, 23 Oktober 2007

Tapanuli, dari "Huta" hingga Karesidenan

Kompas, Senin, 6 Mei 2002



Tapanuli, dari "Huta" hingga Karesidenan

Orin Basuki
DALAM khasanah sehari-hari, Tapanuli identik dengan Tanah Batak. Dengan demikian, Tapanuli adalah tempat menetapnya satu etnis tertentu yang saat ini dinamakan Suku Batak, suku yang menempati empat besar di antara empat suku yang paling banyak menghuni Pulau Sumatera.Berbicara tentang tempat menetapnya orang Batak, terdapat mitos yang mengatakan kediaman orang Batak pada awalnya di kaki Pusuk Buhit (puncak bukit = bahasa Batak) Sianjur di bagian barat Danau Toba.
Lance Castle mengungkapkan dalam bukunya "Kehidupan Politik Suatu Karesidenan di Sumatera, Tapanuli", tidak ada bukti yang bisa membantah bahwa orang Batak pertama itu turun dari langit ke Gunung Pusuk Buhit di sebelah barat pantai Danau Toba seperti mitos tadi.
Sementara hasil sebuah penelitian genealogi (asal-usul) menunjukkan, secara konsisten terjadi migrasi orang Batak yang berawal dari sekitar Danau Toba. Perpindahan itu, terutama terjadi ketika Sumatera Timur semakin berkembang dengan pembukaan perkebunan. Orang Batak kemudian berpindah ke wilayah itu dalam jumlah banyak.
M Hutauruk dalam bukunya "Sejarah Ringkas Tapanuli" mengungkapkan, orang Batak mempunyai semangat berpindah untuk menemukan tempat yang lebih baik dan nyaman untuk didiami. Dengan adanya semangat itu, orang Batak selalu berpindah, tapi tanpa menghilangkan identitas kesukuannya yang kuat.
Lance Castle dalam penelitiannya membagi kelompok orang Batak ini menjadi li-ma subkelompok berdasarkan tempat kediamannya. Sebagian besar orang Batak yakni Batak Toba mendiami wilayah selatan dan barat daya Danau Toba, termasuk Pulau Samosir. Belanda kemudian menyebut wilayah ini sebagai Pusat Tanah Batak (Centraal Batakland), yang kini menjadi Kabupaten Tapanuli Utara. Pihak lain menyebutnya sebagai daerah Batak tulen.
Dalam jumlah lebih kecil di barat laut Danau Toba terdapat Batak Dairi, sementara di dekatnya terdapat Batak Karo di utara Danau Toba. Di antara lereng gunung antara Danau Toba dan Selat Malaka terdapat Batak Simalungun. Kelompok terakhir berada di selatan Danau Toba tepatnya di daerah Angkola, Mandailing, dan Padanglawas berdiam Batak Tapanuli Selatan yang mempunyai dua subkelompok yakni Angkola dan Mandailing.
***
SEBELUM masa kolonial Belanda, masyarakat Batak hampir tidak mengenal negara. Penduduknya tinggal di kampung-kampung yang disebut huta yang dikelilingi oleh tembok tanah dan pagar bambu sebagai perlindungan. Kebanyakan dari huta ini berukuran kecil. Sebagai contoh di Samosir, pada tahun 1912, huta rata-rata berpenduduk 35 orang dengan 16 rumah.
Huta tersebut dipimpin oleh Raja ni Huta yang menjadi pendiri huta atau keturunannya. Mereka menganggap dirinya berkuasa dan tidak bertanggung jawab terhadap otoritas yang lebih tinggi. Namun, sebenarnya mereka masih terikat oleh adat, religi, teritorial dan keturunan yang mengatur hubungan antarhuta yang disebut marga atau klan. Lebih dari itu, mereka juga dikelompokkan dalam kelompok besar marga atau Moitie yakni Sumba dan Lontung.
M Hutauruk mengungkapkan, hingga masa kolonial, orang Batak hidup terisolir dalam huta. Permasalahan kemudian timbul ketika pecah perang saudara karena tidak adanya kerukunan antarmarga. Yang menjadi rebutan utama biasanya adalah tanah pertanian.
Usaha pemersatuan dilakukan oleh Tuan Singa Mangaraja dari dinasti Singamangaraja. Singamangaraja ini menurut mitos lahir dari kegaiban inkarnasi Batara Guru.
Dengan bahasa lain, Heine-Geldern yang dikutip Lance Castle mengatakan, dinasti Singamangaraja adalah tiruan jenis raja-dewa (god-king), tipe penguasa yang banyak ditemukan di Asia Tenggara saat itu. Singamangaraja yang dikenal sebagai pahlawan nasional saat ini bernama Ompu Pulobatu, Singamangaraja XII.
Singamangaraja dikenal sebagai raja-dewa dalam kelompok besar marga atau Moitie Sumba, di dalamnya dikenal salah satu marganya adalah marga Sinambela, marga dari dinasti Singamangaraja. Sedangkan, pada Moitie Lontung, raja-dewa yang mereka kenal bernama Paltiraja dan tinggal di Daerah Urat, Pulau Samosir.
Terpecah-pecahnya masyarakat Batak dalam huta tersebut berlangsung sejak abad ke-14. Baru pada abad ke-19, persatuan itu muncul ketika datang kekuatan lain di luar kekuatan adat, marga, dan huta yakni kekuatan penyebaran agama Islam dan Kristen serta munculnya penjajahan Belanda.
***
PENYEBARAN Islam di Tapanuli tidak terlepas dari berkembangnya gerakan Padri (sebuah gerakan Islam) di Sumatera Barat atau daerah Minangkabau. Gerakan Padri ini berawal dari dataran tinggi Minangkabau pada 1803 dimotori oleh tiga orang haji yang baru pulang dari Mekah, yang salah satunya bernama Syarif atau dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol.
Seorang pemimpin regional Padri bernama Tuanku Rao kemudian menyerang daerah Mandailing dan berusaha menguasai daerah utara Tapanuli namun gagal. Bersamaan dengan penaklukan inilah, Islam mulai disebarkan hingga mayoritas penduduk Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah menganut agama Islam, sementara Tapanuli Utara tidak diislamkan.
Gerakan Padri berubah menjadi perang kolonial pada 1821 ketika Belanda mengintervensi konflik antara Kaum Padri yang ingin menerapkan ajaran Islam murni dengan Kaum Adat Minangkabau yang menolak keinginan Kaum Padri. Bersamaan dengan intervensi itu, Belanda mulai menancapkan kekuasaannya di Tapanuli.
Setelah Perang Padri usai pada 1937, Pemerintah Belanda cenderung membiarkan penyebaran agama Islam di Tapanuli Selatan terus berkembang. Hal itu karena sulit bagi Belanda menyebarkan agama Kristen. Usaha penyebaran Kristen di Tapanuli Selatan hanya akan membahayakan strategi Belanda untuk mendapatkan dukungan golongan hitam (Muslim non-Padri atau Kaum Adat) di Minangkabau.
Namun, Lance Castle melihat kebijakan Belanda itu sebagai penyekatan dua benteng Islam yakni Aceh dan Minangkabau dengan membiarkan kristenisasi dilakukan dan berhasil di Tapanuli Utara. Tujuan Belanda ini sebenarnya tercapai dengan membiarkan agama asli orang Batak tetap berkembang di Tapanuli Utara. Dalam praktiknya, hanya Tanah Batak di Tapanuli Utara saja yang beragama Kristen, sehingga mencegah penyusupan Islam antara Aceh dan Minangkabau.
Lance mengatakan, Minangkabau menganut agama Islam sejak sekitar abad ke-16. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat Tapanuli Selatan mempunyai perasaan yang lebih kuat sebagai satu kesatuan dengan Minangkabau dibanding dengan Batak, meskipun secara politik antara Tapanuli Selatan dan Minangkabau sangat terdesentralisasi.
Dalam keadaan yang relatif aman setelah Perang Padri, pada 1838, Belanda membentuk Karesidenan Air Bangis di Tapanuli. Baru pada 1842, diubah menjadi Karesidenan Tapanuli dengan ibu kota Sibolga, sementara Gubernurnya berpusat di Padang.
Setelah bergabung dengan Republik Indonesia, pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Karesidenan Tapanuli dimasukkan sebagai bagian Provinsi Sumatera yang wilayahnya mulai ujung utara Aceh hingga ujung selatan Lampung. Gubernur Provinsi Sumatera saat itu, Mr AS Nasution.
Kemudian, Provinsi Sumatera dilebur menjadi tiga provinsi yakni Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Tapanuli masuk sebagai bagian Provinsi Sumatera Utara bersama Aceh dan Sumatera Timur pada tahun 1950. Enam tahun kemudian, Aceh memutuskan berpisah dan membentuk provinsi sendiri, sementara hingga sekarang Tapanuli dan Sumatera Timur masih menjadi Karesidenan yang tergabung sebagai Provinsi Sumatera Utara.
***
LANCE Castle sempat mencatat bagaimana sulitnya menyatukan antara Tapanuli Selatan yang didominasi orang Angkola dan Mandailing dengan Tapanuli Utara yang menjadi tempat bermukim Batak Toba. Salah satu bukti adalah ketika Belanda bermaksud membentuk Batakraad atau Dewan Batak.
Tujuan Belanda membentuk Dewan Batak ini tidak lain adalah untuk memudahkan pengelolaan administrasi pemerintahan sekaligus menumbuhkan semangat sukuisme dalam hal ini suku Batak dan membunuh semangat Nasionalisme keindonesiaan.
Gagasan Dewan Batak ini mendapat kecaman keras dari orang Mandailing yang menolak adanya lembaga Batakraad bahkan jika namanya diganti dengan Tapanoeliraad sekalipun, mereka tetap menolak. Mereka menolak selain karena merupakan bikinan Belanda, mereka juga pada dasarnya menolak mengakui diri mereka sebagai orang Batak.
Alasan lain penolakan masyarakat Mandailing terhadap Dewan Batak itu juga didasarkan atas agama dan adat. Bahkan jika dewan itu dipaksakan dibentuk, pemimpin masyarakat terang-terangan menyatakan akan memilih bergabung dengan Sumatera Barat.
Untuk menjelaskan pandangan Lance tentang kondisi masyarakat di Tapanuli, Basyral Hamidi Harahap menggambarkan pengkotakan masyarakat di Tapanuli Utara dan Selatan itu melalui hasil pemilihan umum (Pemilu) pertama di Indonesia pada 1955, atau 15 tahun setelah periode penelitian Lance Castle berakhir.
Basyral menyatakan, hasil Pemilu 1955 menggambarkan dengan gamblang bahwa Tapanuli Utara adalah negeri Kristen dan Tapanuli Selatan adalah Islam. Hal itu tampak jelas dari perolehan suara di Tapanuli Utara dimenangkan oleh partai-partai Kristen 172,456 atau 67,38 persen. Sementara di Tapanuli Selatan, partai-partai Islam memimpin perolehan dengan 132.976 suara atau 75,45 persen.
Darimana munculnya pengkotakan itu? Tentunya berasal dari nilai-nilai budaya, agama, dan orientasi masa depan orang Tapanuli yang mempengaruhi dinamika kehidupan perpolitikan masyarakat Tapanuli.
Sebagai gambaran, kata Basyral, nilai religi pada orang Angkola dan Mandailing di Tapanuli Selatan adalah nilai-nilai Islam sedangkan pada orang Toba adalah nilai-nilai Kristen ditambah nilai-nilai agama leluhur. Hal tersebut terlihat apabila orang Angkola-Mandailing masuk Islam, maka landasan utama kehidupannya adalah nilai-nilai Islam.
Dengan demikian mereka tidak keberatan melakukan sesuatu yang sangat dilarang oleh adat, namun tidak dilarang dalam ajaran Islam. Sebagai contoh adalah melakukan perkawinan semarga yang dilarang oleh adat. Oleh karena Islam tidak melarang hal itu dan memiliki nilai-nilai sendiri tentang perkawinan termasuk pasangan yang boleh dan tidak, mereka bersedia melakukan perkawinan semarga.
Sebaliknya dengan orang Batak Toba, jika memeluk agama Kristen, dia tetap mengamalkan ajaran adat istiadat Batak Toba. Kebatakannya tetap kuat dibanding dengan Kekristenannya. Dengan kata lain, orang Batak yang masuk Kristen akan tetap menjadi Batak sejati, sehingga terkadang urusan gereja menjadi tersisih karena kepentingan adat yang mendesak.
Tidak hanya itu, contoh lainnya adalah pandangan kedua Subetnis Batak itu terhadap konflik (dalam arti positif) dan hukum. Sosialisasi konflik yang berlangsung seumur hidup pada orang Batak Toba menjadikan mereka sangat peka dan terampil dalam menyelesaikan konflik. Frekuensi konflik yang tinggi pada orang Batak Toba menyebabkan mereka selalu berada dalam lingkaran konflik baik sebagai jaksa, hakim, pengacara, maupun polisi.
Sebaliknya orang Angkola-Mandailing selalu berusaha menghindari koflik, bahkan adanya konflik di kalangan sendiri dianggap sebagai aib. Itu sebabnya potensi konflik lebih rendah terjadi pada orang Angkola-Mandailing dibanding Batak Toba.
***
BASYRAL menegaskan, hanya dengan mengintensifkan frekuensi komunikasi yang lebih efektif antara Tapanuli Utara dan Selatan yang akan tetap membendung upaya mengemukakan perbedaan yang ada. Bagaimanapun perbedaan itu adalah alami, dan harus diterima, bukan dihancurkan dengan usaha untuk melakukan persamaan yang dipaksakan.
Bagaimanapun juga terdapat satu sikap yang kontras di antara Tapanuli Utara dan Selatan. Kalangan Tapanuli Utara sangat mengemukakan persamaan, mereka percaya bahwa nenek moyang semua etnis Batak adalah sama yakni berasal dari Toba, Tapanuli Utara. Pandangan ini sayangnya menimbulkan sikap superior dan arogansi orang Batak Toba.
Sementara itu, di Tapanuli Selatan, semangat perbedaan dengan utara lebih mengemuka. Cerita itu muncul ketika tidak sedikit orang Tapanuli Selatan yang menolak kisah asal muasal mereka dari Toba. Lebih jelasnya, orang Mandailing bahkan tak mau mengaku orang Batak.
Lalu, puluhan tahun setelah bubarnya Aceh dari Provinsi Sumatera Utara, keinginan untuk kembali berdiri sendiri sebagai satu wilayah administrasi yang otonom seperti dalam Karesidenan Tapanuli kembali muncul kepermukaan tahun 2000. Keinginan itu semakin menguat pada 2002 ini, berupa keinginan membentuk provinsi sendiri dengan nama Provinsi Tapanuli.
Dengan mengetengahkan kondisi sosial dan politik seperti dituturkan Lance Castle, pengamat sosial dan sejarah Sumatera Utara, Prof Dr Amudi Pasaribu berharap keinginan membentuk Provinsi Tapanuli tidak dilakukan tergesa-gesa. Tanpa memperhitungkan kondisi sosial yang kontras antara Tapanuli Utara dan Selatan, niscaya pembentukan Provinsi Tapanuli bukan keputusan yang bijaksana.
"Apa salahnya dengan Sumatera Utara yang sudah mampu mempersatukan perbedaan," kata Amudi. (m02)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda