PAKKAT NAULI

Selasa, 23 Oktober 2007

TEARS OF THE SUN

Tears of the sun, film perang yang disutradarai oleh Antoine Fuqua dalam misi marinir US (Bruce Willis) untuk menyelamatkan seorang dokter warga negara US (diperankan oleh Monica Belluci) di perang sipil Nigeria. US Navy Seals akhirnya terjebak dalam perang tersebut karena prihatin dengan pembunuhan masal etnis yang dilakukan oleh para pemberontak. Marinir US akhirnya berhasil menyelamatkan sang dokter dan para pengungsi yang ternyata diantara pengungsi tersebut ada putra presiden negeria, satu-satunya putra presiden yang masih selamat hidup. Para pemain: Bruce Willis, Monica Bellucci, Cole Hauser, Earmonn Walkel, Johnny Messner dan Nick Chinlund.

Swandy Sihotang

Tapanuli, dari "Huta" hingga Karesidenan

Kompas, Senin, 6 Mei 2002



Tapanuli, dari "Huta" hingga Karesidenan

Orin Basuki
DALAM khasanah sehari-hari, Tapanuli identik dengan Tanah Batak. Dengan demikian, Tapanuli adalah tempat menetapnya satu etnis tertentu yang saat ini dinamakan Suku Batak, suku yang menempati empat besar di antara empat suku yang paling banyak menghuni Pulau Sumatera.Berbicara tentang tempat menetapnya orang Batak, terdapat mitos yang mengatakan kediaman orang Batak pada awalnya di kaki Pusuk Buhit (puncak bukit = bahasa Batak) Sianjur di bagian barat Danau Toba.
Lance Castle mengungkapkan dalam bukunya "Kehidupan Politik Suatu Karesidenan di Sumatera, Tapanuli", tidak ada bukti yang bisa membantah bahwa orang Batak pertama itu turun dari langit ke Gunung Pusuk Buhit di sebelah barat pantai Danau Toba seperti mitos tadi.
Sementara hasil sebuah penelitian genealogi (asal-usul) menunjukkan, secara konsisten terjadi migrasi orang Batak yang berawal dari sekitar Danau Toba. Perpindahan itu, terutama terjadi ketika Sumatera Timur semakin berkembang dengan pembukaan perkebunan. Orang Batak kemudian berpindah ke wilayah itu dalam jumlah banyak.
M Hutauruk dalam bukunya "Sejarah Ringkas Tapanuli" mengungkapkan, orang Batak mempunyai semangat berpindah untuk menemukan tempat yang lebih baik dan nyaman untuk didiami. Dengan adanya semangat itu, orang Batak selalu berpindah, tapi tanpa menghilangkan identitas kesukuannya yang kuat.
Lance Castle dalam penelitiannya membagi kelompok orang Batak ini menjadi li-ma subkelompok berdasarkan tempat kediamannya. Sebagian besar orang Batak yakni Batak Toba mendiami wilayah selatan dan barat daya Danau Toba, termasuk Pulau Samosir. Belanda kemudian menyebut wilayah ini sebagai Pusat Tanah Batak (Centraal Batakland), yang kini menjadi Kabupaten Tapanuli Utara. Pihak lain menyebutnya sebagai daerah Batak tulen.
Dalam jumlah lebih kecil di barat laut Danau Toba terdapat Batak Dairi, sementara di dekatnya terdapat Batak Karo di utara Danau Toba. Di antara lereng gunung antara Danau Toba dan Selat Malaka terdapat Batak Simalungun. Kelompok terakhir berada di selatan Danau Toba tepatnya di daerah Angkola, Mandailing, dan Padanglawas berdiam Batak Tapanuli Selatan yang mempunyai dua subkelompok yakni Angkola dan Mandailing.
***
SEBELUM masa kolonial Belanda, masyarakat Batak hampir tidak mengenal negara. Penduduknya tinggal di kampung-kampung yang disebut huta yang dikelilingi oleh tembok tanah dan pagar bambu sebagai perlindungan. Kebanyakan dari huta ini berukuran kecil. Sebagai contoh di Samosir, pada tahun 1912, huta rata-rata berpenduduk 35 orang dengan 16 rumah.
Huta tersebut dipimpin oleh Raja ni Huta yang menjadi pendiri huta atau keturunannya. Mereka menganggap dirinya berkuasa dan tidak bertanggung jawab terhadap otoritas yang lebih tinggi. Namun, sebenarnya mereka masih terikat oleh adat, religi, teritorial dan keturunan yang mengatur hubungan antarhuta yang disebut marga atau klan. Lebih dari itu, mereka juga dikelompokkan dalam kelompok besar marga atau Moitie yakni Sumba dan Lontung.
M Hutauruk mengungkapkan, hingga masa kolonial, orang Batak hidup terisolir dalam huta. Permasalahan kemudian timbul ketika pecah perang saudara karena tidak adanya kerukunan antarmarga. Yang menjadi rebutan utama biasanya adalah tanah pertanian.
Usaha pemersatuan dilakukan oleh Tuan Singa Mangaraja dari dinasti Singamangaraja. Singamangaraja ini menurut mitos lahir dari kegaiban inkarnasi Batara Guru.
Dengan bahasa lain, Heine-Geldern yang dikutip Lance Castle mengatakan, dinasti Singamangaraja adalah tiruan jenis raja-dewa (god-king), tipe penguasa yang banyak ditemukan di Asia Tenggara saat itu. Singamangaraja yang dikenal sebagai pahlawan nasional saat ini bernama Ompu Pulobatu, Singamangaraja XII.
Singamangaraja dikenal sebagai raja-dewa dalam kelompok besar marga atau Moitie Sumba, di dalamnya dikenal salah satu marganya adalah marga Sinambela, marga dari dinasti Singamangaraja. Sedangkan, pada Moitie Lontung, raja-dewa yang mereka kenal bernama Paltiraja dan tinggal di Daerah Urat, Pulau Samosir.
Terpecah-pecahnya masyarakat Batak dalam huta tersebut berlangsung sejak abad ke-14. Baru pada abad ke-19, persatuan itu muncul ketika datang kekuatan lain di luar kekuatan adat, marga, dan huta yakni kekuatan penyebaran agama Islam dan Kristen serta munculnya penjajahan Belanda.
***
PENYEBARAN Islam di Tapanuli tidak terlepas dari berkembangnya gerakan Padri (sebuah gerakan Islam) di Sumatera Barat atau daerah Minangkabau. Gerakan Padri ini berawal dari dataran tinggi Minangkabau pada 1803 dimotori oleh tiga orang haji yang baru pulang dari Mekah, yang salah satunya bernama Syarif atau dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol.
Seorang pemimpin regional Padri bernama Tuanku Rao kemudian menyerang daerah Mandailing dan berusaha menguasai daerah utara Tapanuli namun gagal. Bersamaan dengan penaklukan inilah, Islam mulai disebarkan hingga mayoritas penduduk Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah menganut agama Islam, sementara Tapanuli Utara tidak diislamkan.
Gerakan Padri berubah menjadi perang kolonial pada 1821 ketika Belanda mengintervensi konflik antara Kaum Padri yang ingin menerapkan ajaran Islam murni dengan Kaum Adat Minangkabau yang menolak keinginan Kaum Padri. Bersamaan dengan intervensi itu, Belanda mulai menancapkan kekuasaannya di Tapanuli.
Setelah Perang Padri usai pada 1937, Pemerintah Belanda cenderung membiarkan penyebaran agama Islam di Tapanuli Selatan terus berkembang. Hal itu karena sulit bagi Belanda menyebarkan agama Kristen. Usaha penyebaran Kristen di Tapanuli Selatan hanya akan membahayakan strategi Belanda untuk mendapatkan dukungan golongan hitam (Muslim non-Padri atau Kaum Adat) di Minangkabau.
Namun, Lance Castle melihat kebijakan Belanda itu sebagai penyekatan dua benteng Islam yakni Aceh dan Minangkabau dengan membiarkan kristenisasi dilakukan dan berhasil di Tapanuli Utara. Tujuan Belanda ini sebenarnya tercapai dengan membiarkan agama asli orang Batak tetap berkembang di Tapanuli Utara. Dalam praktiknya, hanya Tanah Batak di Tapanuli Utara saja yang beragama Kristen, sehingga mencegah penyusupan Islam antara Aceh dan Minangkabau.
Lance mengatakan, Minangkabau menganut agama Islam sejak sekitar abad ke-16. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat Tapanuli Selatan mempunyai perasaan yang lebih kuat sebagai satu kesatuan dengan Minangkabau dibanding dengan Batak, meskipun secara politik antara Tapanuli Selatan dan Minangkabau sangat terdesentralisasi.
Dalam keadaan yang relatif aman setelah Perang Padri, pada 1838, Belanda membentuk Karesidenan Air Bangis di Tapanuli. Baru pada 1842, diubah menjadi Karesidenan Tapanuli dengan ibu kota Sibolga, sementara Gubernurnya berpusat di Padang.
Setelah bergabung dengan Republik Indonesia, pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Karesidenan Tapanuli dimasukkan sebagai bagian Provinsi Sumatera yang wilayahnya mulai ujung utara Aceh hingga ujung selatan Lampung. Gubernur Provinsi Sumatera saat itu, Mr AS Nasution.
Kemudian, Provinsi Sumatera dilebur menjadi tiga provinsi yakni Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Tapanuli masuk sebagai bagian Provinsi Sumatera Utara bersama Aceh dan Sumatera Timur pada tahun 1950. Enam tahun kemudian, Aceh memutuskan berpisah dan membentuk provinsi sendiri, sementara hingga sekarang Tapanuli dan Sumatera Timur masih menjadi Karesidenan yang tergabung sebagai Provinsi Sumatera Utara.
***
LANCE Castle sempat mencatat bagaimana sulitnya menyatukan antara Tapanuli Selatan yang didominasi orang Angkola dan Mandailing dengan Tapanuli Utara yang menjadi tempat bermukim Batak Toba. Salah satu bukti adalah ketika Belanda bermaksud membentuk Batakraad atau Dewan Batak.
Tujuan Belanda membentuk Dewan Batak ini tidak lain adalah untuk memudahkan pengelolaan administrasi pemerintahan sekaligus menumbuhkan semangat sukuisme dalam hal ini suku Batak dan membunuh semangat Nasionalisme keindonesiaan.
Gagasan Dewan Batak ini mendapat kecaman keras dari orang Mandailing yang menolak adanya lembaga Batakraad bahkan jika namanya diganti dengan Tapanoeliraad sekalipun, mereka tetap menolak. Mereka menolak selain karena merupakan bikinan Belanda, mereka juga pada dasarnya menolak mengakui diri mereka sebagai orang Batak.
Alasan lain penolakan masyarakat Mandailing terhadap Dewan Batak itu juga didasarkan atas agama dan adat. Bahkan jika dewan itu dipaksakan dibentuk, pemimpin masyarakat terang-terangan menyatakan akan memilih bergabung dengan Sumatera Barat.
Untuk menjelaskan pandangan Lance tentang kondisi masyarakat di Tapanuli, Basyral Hamidi Harahap menggambarkan pengkotakan masyarakat di Tapanuli Utara dan Selatan itu melalui hasil pemilihan umum (Pemilu) pertama di Indonesia pada 1955, atau 15 tahun setelah periode penelitian Lance Castle berakhir.
Basyral menyatakan, hasil Pemilu 1955 menggambarkan dengan gamblang bahwa Tapanuli Utara adalah negeri Kristen dan Tapanuli Selatan adalah Islam. Hal itu tampak jelas dari perolehan suara di Tapanuli Utara dimenangkan oleh partai-partai Kristen 172,456 atau 67,38 persen. Sementara di Tapanuli Selatan, partai-partai Islam memimpin perolehan dengan 132.976 suara atau 75,45 persen.
Darimana munculnya pengkotakan itu? Tentunya berasal dari nilai-nilai budaya, agama, dan orientasi masa depan orang Tapanuli yang mempengaruhi dinamika kehidupan perpolitikan masyarakat Tapanuli.
Sebagai gambaran, kata Basyral, nilai religi pada orang Angkola dan Mandailing di Tapanuli Selatan adalah nilai-nilai Islam sedangkan pada orang Toba adalah nilai-nilai Kristen ditambah nilai-nilai agama leluhur. Hal tersebut terlihat apabila orang Angkola-Mandailing masuk Islam, maka landasan utama kehidupannya adalah nilai-nilai Islam.
Dengan demikian mereka tidak keberatan melakukan sesuatu yang sangat dilarang oleh adat, namun tidak dilarang dalam ajaran Islam. Sebagai contoh adalah melakukan perkawinan semarga yang dilarang oleh adat. Oleh karena Islam tidak melarang hal itu dan memiliki nilai-nilai sendiri tentang perkawinan termasuk pasangan yang boleh dan tidak, mereka bersedia melakukan perkawinan semarga.
Sebaliknya dengan orang Batak Toba, jika memeluk agama Kristen, dia tetap mengamalkan ajaran adat istiadat Batak Toba. Kebatakannya tetap kuat dibanding dengan Kekristenannya. Dengan kata lain, orang Batak yang masuk Kristen akan tetap menjadi Batak sejati, sehingga terkadang urusan gereja menjadi tersisih karena kepentingan adat yang mendesak.
Tidak hanya itu, contoh lainnya adalah pandangan kedua Subetnis Batak itu terhadap konflik (dalam arti positif) dan hukum. Sosialisasi konflik yang berlangsung seumur hidup pada orang Batak Toba menjadikan mereka sangat peka dan terampil dalam menyelesaikan konflik. Frekuensi konflik yang tinggi pada orang Batak Toba menyebabkan mereka selalu berada dalam lingkaran konflik baik sebagai jaksa, hakim, pengacara, maupun polisi.
Sebaliknya orang Angkola-Mandailing selalu berusaha menghindari koflik, bahkan adanya konflik di kalangan sendiri dianggap sebagai aib. Itu sebabnya potensi konflik lebih rendah terjadi pada orang Angkola-Mandailing dibanding Batak Toba.
***
BASYRAL menegaskan, hanya dengan mengintensifkan frekuensi komunikasi yang lebih efektif antara Tapanuli Utara dan Selatan yang akan tetap membendung upaya mengemukakan perbedaan yang ada. Bagaimanapun perbedaan itu adalah alami, dan harus diterima, bukan dihancurkan dengan usaha untuk melakukan persamaan yang dipaksakan.
Bagaimanapun juga terdapat satu sikap yang kontras di antara Tapanuli Utara dan Selatan. Kalangan Tapanuli Utara sangat mengemukakan persamaan, mereka percaya bahwa nenek moyang semua etnis Batak adalah sama yakni berasal dari Toba, Tapanuli Utara. Pandangan ini sayangnya menimbulkan sikap superior dan arogansi orang Batak Toba.
Sementara itu, di Tapanuli Selatan, semangat perbedaan dengan utara lebih mengemuka. Cerita itu muncul ketika tidak sedikit orang Tapanuli Selatan yang menolak kisah asal muasal mereka dari Toba. Lebih jelasnya, orang Mandailing bahkan tak mau mengaku orang Batak.
Lalu, puluhan tahun setelah bubarnya Aceh dari Provinsi Sumatera Utara, keinginan untuk kembali berdiri sendiri sebagai satu wilayah administrasi yang otonom seperti dalam Karesidenan Tapanuli kembali muncul kepermukaan tahun 2000. Keinginan itu semakin menguat pada 2002 ini, berupa keinginan membentuk provinsi sendiri dengan nama Provinsi Tapanuli.
Dengan mengetengahkan kondisi sosial dan politik seperti dituturkan Lance Castle, pengamat sosial dan sejarah Sumatera Utara, Prof Dr Amudi Pasaribu berharap keinginan membentuk Provinsi Tapanuli tidak dilakukan tergesa-gesa. Tanpa memperhitungkan kondisi sosial yang kontras antara Tapanuli Utara dan Selatan, niscaya pembentukan Provinsi Tapanuli bukan keputusan yang bijaksana.
"Apa salahnya dengan Sumatera Utara yang sudah mampu mempersatukan perbedaan," kata Amudi. (m02)

MOTIF MOTIF NON REFORMIS

MOTIF-MOTIF NON-REFORMIS
KOMPAS Rabu, 26-05-1999. Halaman: 14
Tanggal dimuat: 26 Mei 1999

MELIHAT "gemuruh" massa dalam karnaval dan pawai di jalan-jalan Jakarta seminggu terakhir ini, saya tiba-tiba disergap oleh pertanyaan yang agak (maaf) berbau sinis: dari mana datangnya energi dan kekuatan yang mendorong rakyat turun ke jalan-jalan tiap hari itu? Apakah yang menggerakkan mereka itu semacam "roh" sejarah yang suci yang menuntun semua umat manusia menuju "tujuan akhir" (telos) yang membebaskan? Ataukah sebenarnya yang menggerakkan itu adalah uang dan sogokan-atau money politics dalam istilah populer sekarang?
Mengapakah massa Jakarta mau ikut konvoi dan kampanye yang sekilas tidak menghasilkan manfaat langsung secara finansial? Apakah yang sebenarnya dicari oleh mereka? Adakah mereka ikut konvoi itu hanya karena ingin menikmati suasana bebas tanpa terikat dengan peraturan lalu lintas yang memang menjengkelkan warga Jakarta itu?
Atau mungkin saya khilaf ketika mengatakan bahwa tidak ada apa yang disebut "manfaat finansial" dalam kampanye. Bukankah sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejumlah partai membagi-bagikan duit untuk menarik massa sebanyak-banyaknya, agar partainya terlihat mempunyai pendukung yang luas. Bagi masyarakat, kian banyak kampanye yang mereka ikuti, kian banyak untung yang ditangguk. Bukankah dengan nalar begitu, sebetulnya masyarakat sudah dengan cerdik memperlakukan musim kampanye sebagai kelanjutan dari program Jaring Pengaman Sosial (JPS)?
Jika betul itu motifnya, berarti yang menggerakkan massa ikut kampanye adalah soal yang sangat sepele tetapi juga tidak sepele: yaitu uang. Tetapi apakah betul itu saja? Apakah tidak ada sesuatu yang sifatnya lebih "luhur", misalnya ideologi, agama atau identitas tertentu? Baiklah, pertanyaan itu kita gantungkan saja tanpa jawaban untuk sementara.
Pertanyaan berikutnya adalah: apa sebetulnya energi dan kekuatan yang mendorong orang-orang untuk mendirikan partai yang begitu banyak sekarang ini?
Di awal era reformasi, saya pernah berusaha "lugu" dan berbaik sangka kepada semua orang yang mendirikan partai-partai baru. Bahwa, ini adalah masa buat semua orang untuk mengekspresikan pendapatnya; bahwa tak ada larangan buat siapa saja untuk mendirikan perkumpulan atau partai atas dasar keyakinannya sendiri. Ketika itu, saya mempunyai keyakinan yang "lugu" bahwa semua partai yang lahir setelah era reformasi adalah cerminan dari kehendak publik untuk merealisasikan cita-cita sosial-politik yang selama 32 tahun Orde Baru terhambat.
Namun, setelah menyaksikan minggu pertama kampanye, dan mendengarkan serta melihat langsung bagaimana tokoh-tokoh partai itu menjelaskan agenda-agenda politiknya, saya mulai mencurigai "keluguan" saya. Bahwa, ternyata banyak "sampah" dalam kampanye partai-partai itu; bahwa tidak seluruh-untuk tidak mengatakan sebagian besar-partai-partai itu merupakan penubuhan (embodiment) dari "roh" reformasi yang diperjuangkan dengan korban empat mahasiswa pada tanggal 12 Mei tahun lalu.
Saya diam-diam mulai dituntun oleh kecurigaan bahwa bersamaan dengan "energi reformasi", ternyata ada "energi anti-reformasi" yang juga ikut mendorong lahirnya partai-partai itu. Ini bisa dilihat dari tokoh yang ditampilkan, retorika yang digunakan dan isi agenda politik yang dikemukakan.
Kesan pertama yang saya tangkap dari kampanye di media elektronik selama seminggu pertama ini adalah tampilnya tokoh-tokoh tua yang sama sekali tidak menampilkan suatu kualitas seorang politisi dengan visi yang baik. Tokoh-tokoh tua itu, secara umum. Bisa dikatakan sebagai "stok lama" yang sudah kedaluwarsa. Memang, umur bukanlah patokan yang bisa memilah dengan adil apakah seseorang termasuk "reformis" atau tidak .
Akan tetapi dominannya tokoh-tokoh tua itu sekurang-kurangnya mengindikasikan sesuatu yang kurang beres dalam masyarakat kita: ke mana stok muda dari generasi yang kemudian? Yang amat saya sukai adalah tampilnya jurkam muda dari PRD (Partai Rakyat Demokratik), Nuraini: dengan penampilan seorang aktivis yang jauh dari kesan klimis dan necis, ia mengemukakan agenda politiknya dengan jelas dan tangkas.
Melihat banyaknya orang-orang tua yang tampil dalam partai-partai baru ini, saya jadi curiga: jangan-jangan energi yang menghidupi dan mendorong partai-partai baru ini adalah soal "balas dendam" dan "sakit hati".
Maksud saya: banyak orang tua yang dahulu kalah gambling dan tersingkir dari arena politik pada zaman Orde Baru. Didorong oleh "sakit hati" dan ingin "balas dendam", mereka mencoba masuk ke arena politik kembali: siapa tahu, kali ini mereka bisa memenangkan "nomor buntut". Karena motifnya yang sangat "psikologis" itulah, saya jadi paham kenapa sebagian besar orang tua itu gagap menerangkan "cita-cita politik" mereka, karena memang sesungguhnya tidak ada visi politik yang ada di kepala. Dalam kesempatan ini saya hendak mengambil contoh Partai IPKI yang dalam kesempatan kampanye di TVRI beberapa waktu lalu menampilkan R Suprapto, mantan Gubernur DKI dulu. Penampilan dan gaya bicara Pak Prapto 100 persen sama dengan birokrat Orde Baru.
Sisi lain yang menonjol adalah aspek retorika. Dalam hal ini, saya mau mengambil isu "kepribadian nasional" sebagai contoh. Isu ini kerap muncul dalam kampanye di TVRI. Tampilnya isu ini, baik atas nama nasionalisme atau sukarnoisme, menunjukkan bahwa cara pikir yang "non-reformis" masih mengakar pada tokoh-tokoh tua. Saya menganggap bahwa isu "kepribadian nasional" termasuk isu yang berbahaya untuk agenda demokratisasi. Sebab, atas nama isu itulah Orde Baru dahulu-juga Orde Lama, pernah-mencibirkan demokrasi sebagai agenda politik karena dianggap sebagai produk Barat. Mengkampanyekan agenda demokratisasi sambil pada saat yang sama menekankan "kepribadian bangsa" adalah contradictio in terminis.
Jadi kesimpulan saya: baik di jalan-jalan raya ketika ada konvoi, atau di podium tempat para jurkam menyampaikan kampanye, ada dua motif yang saling bertanding: "motif reformis" dan "motif non-reformis". Saya khawatir, motif yang dominan di balik gemuruh kampanye sekarang ini adalah motif non-reformis.*

Ulil Abshar-Abdalla Cendekiawan