PAKKAT NAULI

Minggu, 22 Juni 2008

PAKKAT 2050

Malam ini begitu sejuk dan sepi. Angin berhembus mendayu-dayu dengan sangat lembut. Lampu jalan di sirpang opat tetap nyala saling bergantian, merah kuning dan hijau. Sudah dari sejam yang lalu tidak ada satu pun kendaraan yang lewat. Hanya Amani Kale yang lewat menjajakan lomangnya. Lomang yang begitu enak, keahlian membuat lomang yang diwariskan turun temurun. Nama Kale yang disandang Amani Kale ini juga merupakan sebuah gelar yang telah mereka sandang turun temurun. Mulai dari si Kale Parlomang, yang sudah 3 generasi diatasnya dan sekarang dia juga digelari orang Amani Kale. Mengolah dan menjual lomang secara tradisonal juga menjadi sebuah “poda” (amanah) yang harus diemban secara turun temurun dikeluarga mereka, tidak semua keturunan diperbolehkan mewarisi pekerjaan ini. Hanya satu orang dari keluarga dan kemudian diwariskan kelak kepada kegenerasi berikutnya. Semua orang di Kota ini bahkan ke kota-kota lain sudah tahu hal-ikhwal pewarisan penjual lomang Amani Kale tersebut. Mereka adalah sebuah keluarga kaya dan terhormat di kampung ini, tetapi “poda” harus dijalankan dan haruslah orang yang terpilih yang menjadi penjual lomang dari keluarga. Amani Kale terpilih dari sekian ratus orang keluarga mereka menjadi penjual lomang tradisional di Pakkat. Namun walaupun begitu Amani Kale adalah orang tabah dan setia dalam mengemban tugas, gelar doktor dari UGM yang digelarnya tiga tahun lalu terasa masih kurang cukup dalam mengemban tugasnya sebagai parlomang. Dia begitu tabah dan serius dalam menjalankan bisnis keluarga ini. Menjual lomang sudah dilakoninya selama tiga tahun, bekerja sendirian tanpa anak buah dan keranjang lomang mesti dipikul untuk dijajakan berkeliling. Sebagai si Kale parlomang dia juga mesti memakai uniform mandar (sarung) lusuh yang telah dipakai seratus tahun. Selama menjual lomang, dia juga harus bertelanjang kaki, tidak memakai alas kaki. Itulah “poda” yang mesti mereka jalankan sebagai keturunan parlomang mulai dari 100 tahun lalu dari kampong kecil Temba.
Walaupun sudah tengah malam Amani Kale masih menjajakan lomangnya, dia tersenyum ketika melewati sirpang opat Kota ini, setiap malam pada jam 01.00 dia selalu melihat sepasang muda-mudi berbaring ditengah jalan menghadap ke sebuah patung megah dijantung kota ini. Amani Kale mendekati mereka dan menawarkan lomang dengan dialek temba yang sudah melegenda itu, tidak lupa juga Amani Kale menyisipkan kata-kata kale di setiap kalimatnya. Kepiawaian dalam ‘direct sell’ yang mereka warisi turun temurun dalam menjual lomang dapat dipastikan bahwa orang-orang akan membeli lomangnya. Kedua muda-mudi itu dengan senyum menerima tawaran dari Amani Kale.
“Terima kasih Uda” kata Maryln sambil menyantap lomang dengan resep yang telah dipertahankan ratusan tahun tersebut. Maryln sempat berpikir, pasti nenek moyangku dulu juga merasakan nikmatnya lomang ini hmmmmmm. Togar yang sedari tadi termenung menatap patung di depannya tergerak untuk merespon Amani Kale.
“Horas Tulang, belum pulang Tulang, sudah jam satu ini Tulang”. Sambil menyantap lomang, Togar sedikit berbasa-basi, dalam hatinya ia berpikir, kok bisa ya doktor dengan peringkat cumlaude dari UGM kerjanya berjualan lomang. Busyet dah.
“Horas ma kale, bentar lagi juga saya pulang, tadi nattulangmu telepon dari rumah minta saya cepat pulang untuk beres-beres, besok kita mau ke Yogya, laeku mau dilantik jadi Sri Sultan Hamengkubuwono XIII. Mungkin kami selama seminggu di Yogya” Togar dan Maryln termangu, berarti mereka tidak akan menikmati lomang Amani Kale selama seminggu nanti.
“Wah Tulang, kita puasa makan lomang dong” kata Togar seraya menarik sebuah koran harian “Selamat Pagi Pakkat” yang dijadikan alas duduknya.
Sembari melirik headline koran yang dipegang Togar, Amani Kale membereskan keranjang lomangnya “Masih demo ya, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa sementara Tulang ada di Yogya”. Togar menunjukkan korannya ke Amani Kale, pada halaman depan terpampang sebuah foto aktivis mahasiswa bernama Manuver Presto Hamonangan, mahasiswa semester dua di PAKKAT UNIVERSITY SINAMO LEDING.
“Salam buat Presto, tadi saya ketemu dia di Siuor-uor, dia sedang diwawancari Lae Meddi Simanullang, pemred baru yang datang dari Jakarta, cucu yang punya Koran” Kata Amani Kale sambil beres-beres dan memanggul keranjang lomang pulang ke rumahnya di SIMARSIK HORACE’S VILLA . Memang akhir-akhir ini sering terjadi demonstrasi di kampus PAKKAT UNIVERSITY SINAMO LEDING. Ada-ada saja tuntutan mahasiswa ini, mulai perbaikan perekonomian di Indonesialah, hubungan luar negerilah, masalah TKI-lah dan masih banyak agenda demonstrasi yang lain yang berganti-ganti setiap minggunya.
Asrama mahasiswa di Sinamo Leding menjadi basecamp para demonstran, sedangkan massanya lebih banyak dari Mahasiswa kampus yang melebihi 10.000 orang. Kampus PAKKAT UNIVERSITY SINAMO LEDING sendiri memiliki mahasiswa 100.000 lebih. Kampus yang tidak terlalu jauh dari asrama memudahkan mereka demonstrasi hampir setiap hari minggu-minggu ini. Sebagian besar masyarakat Pakkat hanya menanggapi demo-demo ini dengan tersenyum. Perekonomian di daerah Pakkat sendiri sudah cukup baik bahkan berkecukupun. Mahasiswa yang demo itu hampir semuanya adalah anak-anak kost dari luar Pakkat kecuali pimpinannya Manuver Presto Hamonangan. Semua orang tahu bahwa dia adalah cucu dari Patung yang ada di sirpang opat ini. Darah aktivis mengalir di tubuhnya.
“Hmmmm Mary, dari dulu saya selalu mengamati patung ini, orangnya pasti sombong”. Kata Togar selepas kepergian Amani Kale.
“Ehh….. enak aja, kata oppungku orangnya baik, ganteng tapi memang agak pendek” Kata Merylin membela si Patung.
“Berarti ga beda jauh dari si Presto he he he” Togar tertawa ngekeh sambil melirik Mary. Ada kabar burung yang didengar Togar kalau beberapa kali terakhir, Mary sering ikut-ikutan rapat-rapat Mahasiswa di Pakkat University. Biarpun Presto adalah adik kelas Mary, bahkan sebenarnya dari jumlah semester Presto masih anak bawang, tetapi Presto sudah begitu terkenal di kampus dan handal dalam berorasi dan juga mengangumkan dalam memimpin rapat-rapat mahasiswa. Melihat penampilan Presto, Mary sering terpesona.
“Heh … Mary, Presto itu ga seperti yang kau bayangkan. Aku dengar dari itoku, dia itu sering telpon-telponan dengan Oppungnya di Jakarta. Paling juga dia cuman mau seperti Oppungnya hik hik hik.” Togar jelas tidak mau membiarkan Mary jatuh hati ke Presto.
Malam semakin larut, kedua muda-mudi itu masih tidur-tiduran telentang di tengah jalan sirpang opat dijantung Kota Pakkat, beralaskan Koran dengan foto sang aktivis. Patung megah setinggi 20 meter berdiri tegak persis dihadapan mereka. Patung yang dipahat oleh seniman terkenal dunia ini sudah ada di jantung kota ini sejak tahun 2037. Dibawah patung tertulis nama pemahatnya, P. Simangunsong.
“Bang, kamu tahu ga, kalau dulu Tugu Salak yang dipegang patung ini dulunya tertancap di tanah sewaktu patungnya belum ada. Ini sih cerita Oppungku, dan kemarin aku coba cari informasi di website FIP untuk memastikan kata Oppungku ini ”
“Hah, nancap di tanah? Bukannya dari dulu patung ini memegang Tugu Salak?”
“Bang, dulu sebelum ada patung ini, yang ada hanya tugu salak persis ditempat ini. Pada zaman tugu salak ini, Pakkat adalah kota miskin. Penduduknya harus bekerja siang malam untuk mencari nafkah. Tidak seperti sekarang, kerja hanya 4 jam sehari sudah bisa tidur enak. Kalau dulu, sekolah aja yang ada cuman sedikit. Sekolah RK yang di Pargodungan, SD dan SMP yang di Simarsik, dan SMEA yang di Panigoran. Udah itu aja. Paling di desa-desa ada SD-SD doang. Itu pun sangat menyedihkan dengan mutu pendidikan yang sangat rendah. Dulu belum ada kampus bang”.
“Hah, yang benar aja Mary”.
“Benar, ini ya, aku juga lihat di Web FIP, ada foto-foto jalan raya dari Doloksanggul ke Pakkat, busyet dah, itu mah kayak kubangan kerbau. Jalan hanya bisa dipakai setengah meter. Banyak bus-bus yang menggelinding kayak bola ke jurang, idihhhhh mengerikan”. Maryln berhenti sejenak. Togar termangu sambil menatap wajah Mary yang bercerita dengan sepenuh hati.
Togar memang anak baru di kota ini. Oppung borunya dulu merantau dari Pakkat ke Batam dan mereka tinggal di Batam. Setelah tamat SMA Togar kuliah di Yale University di New Haven, sebuah kota di Negara bagian Connencticut (sekitar 120 km disebelah timur laut kota New York). Setelah lulus pemuda tampan ini pindah ke Pakkat atas upaya Oppungnya yang ada di Batam. Oppungnya menceritakan kepada Togar kalau daerah Pakkat ini adalah daerah yang paling indah di dunia. Daerah Pakkat sekarang adalah daerah hasil perjuangan mereka para perantau dan bahu-membahu dengan masyarakat yang ada di Pakkat puluhan tahun yang lalu. Mereka disatukan atas keprihatinan yang sama, khususnya karena buruknya jalan raya Doloksanggul – Pakkat yang sangat tidak manusiawi. Dulu bersama-sama dengan rekan-rekan sesama perantau mereka sering berdiskusi di milis pakkat untuk membangun kota Pakkat. Milis inilah yang menjadi cikal-bakal FIP yang kantornya sangat besar di pusat kota ini. Namun sayang Oppung Togar lebih sering menceritakan keindahan kota Pakkat sekarang ini daripada zaman sigudamdam dulu.
“Hei, malah melamun abang ini, kamu tahu ga, di zaman tugu salak ini, semuanya memprihatinkan. Misalnya bang, kalau dulu orang main bola saja seperti main bola di bukit-bukit he he he bukan di lapangan sepak bola. Lapangan sepak bola sih ada, tapi ga rata, dulu ada di Pulobali. Ha ha ha, Oppungku pernah bercerita kalau sudah tujuhbelasan, ramai sekali katanya. Tapi setiap ada yang menendang bola dengan kencang, semua orang terdiam dan melihat arah bolanya kemana. Nah kalau arah bolanya ke kebun salak maka bolanya harus diganti karena pasti kempes kena duri salak he he he”
“He he he iya juga ya” Togar juga ikut tertawa membayangkan lapangan yang becek kalau hujan, kering kalau panas, dan lapangan yang dikelilingi kebun salak. Exsotics… man!!! Habis main bola nyuri salak. Atau pura-pura ngambil bola, taunya sudah mangaltup salak he he he
Angin bertiup mulai tambah dingin, lampu merah kunig hijau masih tetap saja menjalankan tugasnya dengan baik walaupun tak satupun kendaraan bahkan manusia yang masih kelihatan kecuali mereka berdua. Di langit bintang-bintang gemerlap memperhatikan kedua muda mudi ini yang tidak mengenal waktu siang maupun malam. Tetapi tiba-tiba terdengar raungan sepeda motor, grongggg gunggg tiiiiiit tuiiiiiiitt….. tiba-tiba sebuah motor melaju kencang dari arah Tukka. Togar segera berdiri dan menarik tangan Maryln untuk menyingkir ke pinggir jalan.
“Hoiiii bule, tidurrrrrrrrrr…..” Teriak pengendara motor sambil berlalu kencang.
“Sialan” Umpat Togar sambil melotot mencoba mengenali siapa pengendara motor ugal-ugalan tersebut.
“Sudahlah bang, paling anak-anak mahasiswa yang baru pulang dari café tukka-ausy”. Maryln berusaha melunakkan hati Togar. Memang akhir-akhir ini mulai banyak merebak kafe kafe di Tukka. Beberapa tahun yang lalu hanya ada 5 buah kafe yang buka sampai jam 12 malam. Tapi sekarang ada kafe yang buka sampai jam 3 pagi. Katanya yang punya orang kuat dari Australia.
“Huh, ntar aku bilangin sama Presto, biar dihajar dia” kata Togar tersenyum dan melirik kearah Mary. Mary hanya sumrigah dan selintas terbayang wajah keren Presto.
“ Oh ya, besok pagi jogging jam berapa?”
“Biasalah jam 5 bos, pulang yok”
Togar dan Maryln pelan-pelan berjalan menyelusuri trotoar dibawah lampu jalan yang gemerlap sambil bergandengan tangan. Togar pemuda Batam lulusan New York yang tampan seolah-olah tidak mau melepaskan tangan Mary yang halus dan lembut. Wanita cantik yang digandengnya ini dikenalkan oleh Oppungnya yang ada di Batam. Togar sangatlah menyayangi Oppungnya apalagi Oppungnya mempertemukan dia dengan cucu temannya yakni Mary. Oppung Togar dan Oppung Mary adalah teman yang bertemu di milis pakkat yang selalu diceritakan setiap hari oleh Oppung Togar dan demikian juga Oppung Mary.
Limabelas menit kemudian mereka sampai ke rumah Mary di dekat Mesjid Raya Pakkat, Pak Satpam yang ada di pos satpam cuman mengangguk-angguk tersenyum ke mereka sambil tetap ngopi dan makan salak asinan hasil pabrik asinan salak yang ada di Batugaja tempat Togar bekerja. Pabrik Asinan Salak ini sudah berdiri 25 tahun yang lalu, dan sudah mengekspor asinan salak sampai ke Rusia. Disinilah Togar bekerja, PT Salak Manalu Mantap sebagai Manager Marketing.
Dengan sedikit kecupan di dahi, Togar mengucapkan selamat malam dan membisikan di telinga Mary supaya besok pagi jangan terlambat bangun. Sambil tersenyum Mary membisikkan sesuatu ke telinga Togar “jangan lupa ngambil motormu di depan gallery ya”
Togar tersenyum dan melangkah gontai ke gallery yang ada di depan rumah Mary. Toko Gallery yang sangat besar dan megah. Sehabis kuliah, Mary menghabiskan waktunya di gallery bersama 57 orang karyawannya. JERMAN –INDONESIAN PAINTING GALLERY memang sangat diminati oleh warga Pakkat. Gallery milik Mary memamerkan dan menjual benda-benda kuno dari Jerman. Di pintu masuk gallery berdiri megah sebuah patung mantan Kanselir Jerman Angela Merkel, dan dipojok kiri ada sebuah patung kusam Adolf Hitler.
Motor Togar masih bertengger di depan gallery. Dengan gagah Togar mengendari motornya melaju ke rumahnya di Batugaja.
Setelah beres-beres, Mary pun merebahkan badannya di kasur empuk di kamar tidurnya. AC dikamarnya hanya dinyalakan pada siang hari, sebab pada malam hari udara sudah sangat sejuk. Sebelum tidur, Mary berdoa semoga besok mereka mendapatkan Rektor baru yang lebih baik dan tidak mempersulit posisi sang demonstran. Terdengar kabar, ketua Yayasan PAKKAT UNIVERSITY SINAMO LEDING akan menangani langsung kampus yang sering dijadikan tempat demo para demonstran. Rektor baru yang sudah sangat tua ini adalah mantan Dirjend BIMAS Departemen Agama di Jakarta. Atas desakan FIP sebagai yayasan pemilik kampus, mantan Dirjend inipun didaulat menjadi Rektor PAKKAT UNIVERSITY SINAMO LEDING.

Bersambung…………………..